Total Tayangan Halaman

Minggu, 15 April 2018

Catatan Telaga Samares II. Kolam itu punya nama "Wopersnondi"

23 Maret 2015

Sepanjang perjalanan pulang dari Telaga di Samares, benakku mulai bertanya apa gerangan nama dari telaga itu?. Kaka Yehezkiel maupun Kaka Paul tak pernah menyinggungnya. Rasa penasaran yang telah menjadi mimpi selama bebeberapa hari akhirnya menuntunku ke rumah Bapak Edward Kurni. Rumahnya tidak jauh dari tempatku bekerja dan beliau juga bukan orang yang asing bagiku. Aku mengenal beliau saat masih tinggal di mess kantor. Selama tiga bulan aku mengikuti jadwal ibadah KSP maupun latihan paduan suara Jens Achter yang ada di lingkungan Desa Bindusi bersama dengan Pak Kurni maupun Kaka Paul.
"Bapa, kemarin dulu itu sa dengan Kaka Paul ada pi ke Samares. Baru 'tong lihat ada satu telaga di sana, Bapa pernah lihat ka?", tanyaku setelah mama (isterinya) memberi ku segelas teh gula. Pak Kurni yang sudah setengah baya itu kembali bertanya padaku, "Oh, anak punya maksud kolam biru itu ka?", orang-orang di Biak Timur biasa menyebut telaga dengan kolam sehingga tak heran jika Pak Kurni juga menyebutnya demikian. "Oh anak, kolam itu dia punya nama Wopersnondi, jadi Wopersnondi itu artinya laki-laki yang jatuh", jelasnya lebih dalam lagi sambil memakan pinang yang ada ditangannya.
Setelah meludahkan air pinang yang berwarna merah itu ia kembali melanjutkan cerita. "Dulu itu saya pernah ambil air di sana", katanya menceritakan pengalamannya saat masih muda dan bekerja mencari kayu di sana.
"Jadi begini anak, sebab nama kolam itu Wopersnondi berasal dari satu cerita. Dulu itu ada satu laki-laki ada pergi cari kayu bakar di hutan. Begini, hari sudah malam jadi de mau pulang. Waktu de jalan pulang, tiba-tiba de dengar ada suara burung di atas pohon, baru de punya niat ambil akan itu burung. De lalu mulai panjat itu pohon tapi de punya satu kaki ni ada injak benalu", lanjut Pak Kurni kemudian menatapku tajam "anak tahu benalu yang biasa tempel di pohon itu to?", tanyanya padaku dan aku pun mengangguk mengerti sambil membayangkan tanaman paku-pakuan.
Ia sangat berharap aku mengerti yang ia maksudkan dan melanjutkan cerita itu. "Benalu itu tra kuat tahan de punya kaki, jadi de jatuh ke dalam kolam. De terkejut sekali karna de juga baru tau kalau ada kolam di situ. Begini de pulang ke rumah baru cerita kejadian itu ke masyarakat di kampung". Pak Kurni berhenti sejenak dan menyalakan satu batang rokok dan menghisap seadanya.
"benalu tidak kuat tahan de punya kaki, jadi de jatuh ke dalam kolam", kata Pak Edward Kurni.


"Jadi itu sudah anak, kenapa kolam itu dong bilang Wopersnondi yang artinya laki-laki yang jatuh", tutur Pak Kurni melanjutkan cerita itu dan tak terasa pinang yang ada dimulutnya pun habis. Pinang yang tinggal serat berwarna merah itu kemudian ia taruh di atas asbak rokok. Sejurus kemudian ia mulai meramu lagi permen orang Papua itu, sebuah pinang ia gigit kulitnya lalu mengunyahnya bersama sepenggal buah sirih yang sebelumnya ia colek dengan serbuk kapur. Sesaat mulutnya kembali meludahkan cairan berwarna merah ke dalam sebuah kantung plastik.

Jumat, 13 April 2018

Catatan Telaga Samares I. Pencarian Si Telaga Biru (20 Maret 2015)

Catatan perjalanan ini sudah ada dari 3 tahun yang lalu. Walau tak sempurna tapi setidaknya aku mencoba berbagi pengalaman di dalam blog ini.


Cerita si Abang yang membuat penasaran
Airnya hijau seperti lumut, baru ada ikan hiu di dalam telaga itu”, seru Si Abang yang sering pergi berburu itu menggebu-gebu dan kedua bola matanya menatapku tajam untuk meyakinkanku. Begitu seriusnya ia meceritakan telaga yang belum ia kunjungi itu, “waktu itu sudah sore, jadi kami tidak sempat singgah ke telaga itu”, katanya mengisahkan perjalanan tertunda tersebut, namun ia meyakinkanku bahwa keberadaan telaga itu memang ada dan ia dengar sendiri dari masyarakat Kampung Sepse yang ia jumpai saat berburu di Hutan Samares. Rasa penasaran pun menghantuiku sejak mendengar cerita si Abang dan akhirnya aku menyusun rencana mencari keberadaan telaga di Samares tersebut.Setelah mencari tahu keberadaan kampung samares, aku dan Kaka Paul sepakat untuk pergi kesana.
Menuju Batas Aspal
"Nanti batas aspal terakhir itu ada di Kampung Sepse”, kata Kaka Paul teman sekantor itu kepadaku saat kami mulai berjalan dari Kampung Inofi, Biak Timur. Setengah jam perjalanan kami pun tiba di batas aspal tersebut. Selanjutnya hanya ada jalan karang yang telah dirintis oleh pihak terkait menembus bukit karang sehingga tak heran jika tanjakan dan turunannya begitu curam. Eits..motor bebek yang kami tunggangi akhirnya tergilincir di tanjakan yang berparit-parit hasil gerusan air hujan. Merasa motor tidak mampu dan memang kami belum begitu mengenal medan jalan ini akhirnya kami memarkir motor di pinggir jalan dan memutuskan untuk berjalan kaki saja menuju Samares. Sesampainya di atas tanjakan kami duduk dan beristirahat sejenak di bawah bayangan pepohonan.
Moris Sang Penolong
Saat sedang asyik duduk terdengar suara motor bebek mendengung dari bawah tanjakan, aku dan Kaka Paul segera berdiri untuk melihat siapa gerangan yang datang dan berhasil menaiki tanjakan ini. Seorang laki-laki muda muncul dengan motornya dan kami segera memanggilnya. “Moris Mofu”, katanya mengenalkan namanya setelah aku menanyakan dan menjabat tangannya. “Ade ko bisa bawa tong pu motor yang di bawah itu ke atas ka?", pinta Kaka Paul kepada Moris dan ia pun segera turun membawa motor kami ke atas. Moris anak kelas 11 di SMA 2 Paray itu bercerita kalau ia hampir setiap hari datang ke tempat ini untuk membantu Bapaknya memotong kayu. Maka tak heran kalau ia sangat mengenal medan jalan ini. Setelah memberikan kunci motor kami, ia pun berpamitan untuk pergi. Dua tiga langkah Moris sang penolong itu masuk ke dalam hutan dan lenyap ditelan suara dengungan mesin sensor.
Pintu Angin
Selepas Moris pergi, aku dan Kaka Paul kembali menunggangi motor bebek untuk melanjutkan perjalanan. “Kalau sudah dapat Pintu Angin berarti tong sudah dekat”, kata Kaka Paul menjelaskan. “Kata orang-orang yang suka pergi mancing di Pantai Samares, dong biasa parkir di situ lalu jalan kaki kebawah”, tambahnya lagi mengingatkanku pada cerita si Abang yang pemburu itu juga mengatakan demikian. Di Biak ada beberapa tempat dinamai Pintu Angin, menurut Kaka Paul dikatakan Pintu Angin karena dari tempat itulah pertama kali kita bisa merasakan hembusan angin langsung dari arah laut. Kami pun akhirnya tiba di Pintu Angin yang dimaksudkan dan disambut suara ombak yang menderu dari laut yang masih terlihat jauh.
Pintu Angin di Samares (20 Maret 2015)
Petunjuk Jalan dari Yehezkiel Ansek
Setelah memarkir motor di Pintu Angin kami pun menuruni turunan terjal itu menuju pantai. Di perjalanan, kami bertemu dengan 2 orang laki-laki yang duduk di atas tumpukan papan yang tersusun rapi. Kami segera menghampirinya untuk mendapatkan petunjuk menuju telaga yang kami cari. Laki-laki yang terlihat lebih tua dari temannya itu bertanya kepada kami dalam bahasa Biak dan Kaka Paul pun menjelaskan tujuan kami untuk mencari telaga. “Nanti kaka dong sampai di persimpangan jalan sebelum pantai ambil jalan kiri lalau ada di situ jalan tikus. Jalan itu sudah yang menuju telaga”, kata laki-laki yang bernama Yehezkiel Ansek itu memberikan petunjuk jalan pada kami.
Suara Ombak Pantai Samares yang menggoda
Sesampainya di persimpangan aku dan Kaka Paul mulai mencari jalan tikus yang dimaksudkan Kaka Yehezkiel. Namun setelah lama mencari belum juga mendapatkannya. Sehingga kami memutuskan untuk melihat pantai terlebih dahulu, karena suara ombak begitu menggoda kami untuk mendekat. Tidak ada seorang pun di Pantai itu, hanya satu dua pondok kayu yang terlihat berdiri. Kami mencoba menyapa orang di dalam pondok tapi tak satu suara pun yang menyahut. Dibawah teriknya matahari kami coba menikmati suasana pantai yang biasa menjadi tempat memancing orang-orang dari Kota Biak yang hobby memancing. Sesaat rasa penasaran akan letak telaga muncul kembali dan kami pun kembali ke persimpangan untuk menuntaskan tujuan utama yaitu mencari telaga
Ombak Pantai Samares yang menggoda (20 Maret 2015)
Jalan Tikus yang tertutup rerumputan
Dari persimpangan kami mulai menyusuri kembali jejak jalan tikus itu dan akhirnya menemukan portal kayu dan masuk melewatinya. “Jalan tikus yang dimaksud Kaka Yehezkiel itu jalan setapak ka?”, tanyaku pada Kaka Paul. “Ya, seperti itu sudah, sa juga baru dengar istilah ini jadi”, jawab kaka Paul sambil tertawa. “Ini sudah Kaka, jalan tikus itu”, seruku kepadanya sambil menunjuk jalan setapak yang sudah ditumbuhi rerumputan itu. Tampak Kaka Paul mulai bersemangat untuk menulusuri jalan itu. "Tong su dekat ini", katanya meyakinkanku sambil mengkuti langkahku
Jalan Tikus sudah tertutup rerumputan (20 Maret 2015)
Di Balik Pohon Matoa Kembar
Aku dan Kaka Paul terus menelusuri jalan tikus itu dan menemukan dua pohon Matoa yang hampir berukuran sama atau bisa juga dikatakan kembar dan jarak ke dua pohon matoa itu mirip sebuah pintu. Beberapa langkah dari balik pintu alam itu aku pun terdiam sejenak, rasa lelah dan penasaranku pun terjawab sudah. Warna biru telaga itu sangat kontras mengalahkan hijaunya dedaunan tumbuhan yang  ada disekitarnya. “Oh..My God, Engkau sungguh luar biasa”, pekikku dan segera memanggil kaka Paul untuk melihat lukisan nyata itu. Ia pun tertegun lalu segera turun merasakan kesegaran telaga biru itu dan aku pun mengikutinya masuk ke dalam telaga.
Sepulangnya dari Telaga itu hingga saat ini lukisan Telaga di Samares itu masih melekat dan tidak akan hilang dari benakku.
Warna biru telaga kontras diantara hijaunya dedaunan (20 Maret 2015)


"Tempat yang indah tentu harus dikunjungi orang yang mengerti tentang keindahan dan mampu menjaganya tetap indah".